Selasa, 08 November 2011

Because of You

by Linda Rusher Maslow Winchester



***********

“Kita harus melakukannya. Dia sudah tidak kuat lagi, cuma ini pilihan yang ada. Alat-alat itulah yang selama ini menopang hidupnya, kau tidak ingin dia hidup dengan alat-alat itu selamanyakan?”

Ciara menyandarkan tubuhnya di dinding kaca, di seberang ruangan, orang yang dicintainya terbaring lemah. Suara-suara alat medis bergema di ruang rawat itu. Sudah lebih dari enam bulan Jamesnya dirawat disana. Koma, dan sampai saat ini tidak ada tanda-tanda keadaannya akan membaik. Selama ini alat-alat penunjang kehidupan—yang mengelilingi seluruh tubuhnya—lah yang membuatnya tetap bernafas. Dan kini dokter menyarankannya mencabut alat-alat itu, meminta Ciara untuk mengikhlaskan orang yang paling berharga dalam hidupnya.

“Ciara…” sang dokter mengusap lembut punggungnya.

Ciara menoleh, air mata berlinang tiada henti. Teringat kata-kata James dulu saat kanker ganas berhasil mengalahkannya. Ciara harus mengambil keputusan terbaik, walaupun keputusan itu merugikan salah satu pihak, itu pinta James. Tapi bagaimana mungkin Ciara membiarkan James pergi meninggalkannya. Ciara tidak mau sendiri lagi.

Dokter wanita itu tersenyum lembut. Dia mengerti beban batin yang di derita Ciara. Dia kasihan, tapi mau bagaimana lagi. Prosedur medis memaksanya untuk melakukan hal ini.

“Keputusan ada di tanganmu, nak..”

Ciara menengok ke ranjang untuk terakhir kali, dan dengan isakan tertahan, dia mengangguk pelan.

***

Dering telepon mengusik kesadaran Ciara. Dia membuka matanya perlahan. Kepalanya pening, tangannya kesemutan karena dipakai menumpu berat badannya semalaman. Dia tertidur di sofa, sinar matahari mengintip dari balik gorden yang tertutup.

Dering telepon terdengar lagi, Ciara bergegas mencari benda mungil itu dan segera menjawab telepon di seberang sana.

“Halo..” sapanya lemah.

“Kau sudah bangun putri tidur.”

Tubuh Ciara menegang.

“J…James??”

Orang disebrang sana tertawa “Bukan aku pangeran yang akan menyelamatkanmu.”

Ciara menutup telepon dan segera berlari ke kamar tidurnya. Disana dia melihat James berbaring di ranjang sambil memegang telepon, James tersenyum begitu melihat Ciara.

“Hey.. kau menemukanmu…… ada apa??” tanyanya heran saat Ciara memeluknya erat sambil menangis.

Ciara hanya menggeleng, dipeluknya tubuh kurus James, menghirup aroma tubuhnya, meyakinkan dirinya sendiri bahwa Jamesnya masih hidup.

“Sayang, kau baik-baik saja kan??” James terdengar cemas.

“Mhm..” kata Ciara, menaik tubuhnya dan memandang James. Di belainya pipi pucat James penuh sayang. Dia bersyukur semua itu tidak nyata, mimpi-mimpi buruk belakangan ini memang sering menghantuinya, sejak James di diagnosa menderita kanker ganas. Ciara terlalu sayang pada suami yang baru dinikahinya setahun yang lalu itu, dia belum sanggup ditinggal pergi.

James mengecup lembut tangan Ciara.

“lalu kenapa kau menangis?”

Ciara menggeleng, dan membenamkan wajahnya di dada bidang James. “Cuma mimpi buruk.” Katanya pelan.

“Mimpi?”

“Ya.. mimpi yang tidak penting..”

“Baiklah…” James merangkulnya erat. “Jadi, kau ketiduran di sofa lagi?”

Tersenyum. “Yah.. maaf, aku tidak menemanimu tadi malam.”

“Tidak apa. acara tv itu memang lebih menarik dari pada suami mu sendiri.” Ada nada merajuk disana.

“James…” Ciara mengerang, merasa bersalah. Dia menatap sepasang mata hazel indah James, yang selalu bisa membuatnya tenggelam. “Maaf aku tidak bermaksud seperti itu.”

James terkekeh “Cuma bercanda sayang… aku tahu aku akan selalu menjadi yang pertama di hatimu.”

Mendesah lega, Ciara mengecup lembut bibir James. “You always come first. Always have always will.”

“Thanks darling.. you’ll always be my first too..”

Ciara tersenyum dan menghapus sisa air matanya.

“Oh.. aku lupa, kau harus minum obat. Tunggu ya.. aku ambilkan obatmu dulu.” Ciara bergegas turun dari ranjang, tetapi James menahannya.

“Ciara, please… sekali ini saja. Aku ingin lepas dari obat-obat itu.”

“Tapi kau sakit James, kau harus minum obat.”

“Tidak minum obat sekali, tidak akan membunuhku. Ayolah, untuk hari special ini.”

“Hari special??” Ciara mengerutkan keningnya.

“Kau lupa?? Ini hari ulang tahun mu bebe..”

“Oh…” kekhawatiran akan kondisi James membuatnya lupa segala hal. “Maaf.. hanya saja aku sedang banyak pikiran.”

James memutar bola matanya. “Itulah mengapa aku ingin mengajakmu ke suatu tempat hari ini. Kau sudah lama tidak keluar rumah, lihat kulitmu sekarang lebih pucat dari vampire.”

“Tapi kau tetap harus minum obat.”

“Tidak. Tidak. Dan tidak.!! Sudah, aku tidak ingin berdebat, sekarang kau bersiap. Kita berangkat 30 menit lagi.”

“Kemana??”

“Kau tahu yang namanya kejutankan? Aku tidak akan memberitahumu.”

“Kau sakit..”

“Aku sehat.” James mencoba bangkit dari ranjangnya.

“James…” Ciara segera memposisikan dirinya disebelah James, tidak ingin suaminya jatuh.

“Aku baik-baik saja nyonya bawel.. lihat??” walaupun masih lemah, James berhasil berdiri dengan kedua kakinya sendiri. “Nothing to worry about.”

“Dasar keras kepala.”

“Bawel.. sudahlah.. cepat bersiap. Kita tidak punya banyak waktu.”

“Hah.. dan kau memanggilku nyonya bawel??” kali ini Ciara yang memutar bola matanya gemas. “Tunggu disini dan jangan kemana-mana.”

“Aku bukan bocah sepuluh tahun.” Kata James, mengacak rambut Ciara.

“Heey…” cemberut Ciara merapikan rambutnya. Tetapi kemudian memeluk James. Sudah lama sejak terkhir kali dia melihat suaminya berdiri tegak seperti sekarang, bukannya terbaring lemah diranjang.

“I love you.”

James mengecup kepala Ciara.

“I love you too.”

***

“Baiklah.. aku sudah siap.”

Ciara keluar dari kamar mandi. Berbalut dress mini cantik bermotif bunga. Dia terkejut melihat James yang juga sudah rapi, dengan kemeja putih dan jeans favoritnya. James terlihat lebih segar dan lebih hidup.

“Waw.. kau kelihatan berbeda.” Dia mendekat kearah James.

“Lebih tampankan?” James menyeringai menggoda.

“Tidak.. kau lebih terlihat seperti James.”

“Lalu sebelum ini aku siapa? Tom Cruise??”

Ciara tertawa. “Entahlah.. aku bahagia kau sudah lebih sehat.”

“Untukmu sayang..” James menggandeng tangannya “Kau siap??”

“Ya.. tapi apa kau yakin soal ini? Dokter menyarankanmu untuk tidak berpergian.”

“Lupakan soal dokter. Hari ini khusus buatmu.”

Ciara terharu mendengarnya. Dan sama seprti James, dia juga ingin mengkhususkan hari ini untuk mereka. Hanya mereka berdua, tanpa direpotkan oleh penyakit James.

***

James membawanya kepuncak tebing, dimana mereka bertemu untuk pertama kali. Saat itu Ciara sedang mengikuti perkemahan musim panas, dan pemandunya membawanya berjalan-jalan di hutan sekitar tebing. Sebuah bencana bagi Ciara, karena saat itu entah bagaimana dia terpisah dari rombangan dan tersesat. Dia sampai di tebing itu, terisak dan ketakutan berharap seseorang dari perkemahan menyadari dirinya tak ada dan mencarinya. Sampai akhirnya James, salah satu regu penyelamat perkemahan, menemukannya menangis tersedu di balik batu besar, dan menggendongnya kembali ke perkemahan, karena Ciara sudah tak sanggup lagi berjalan.

Awal pertemuan yang memalukan memang. Tapi dari situlah kisah cinta mereka dimulai. Ciara menyadari bahwa dia memiliki banyak kesamaan dengan James. Jadi saat James mengajaknya kencan, tanpa ragu dia mengiyakan.

“Kau ingat tempat ini??”

Ciara tersadar dari lamunannya. Dia memandang jauh ke dasar tebing, dimana batu-batu besar nan runcing mengintip menakutkan., sebelum menjawab. “Tentu saja bagaimana mungkin aku melupakannya.”

James meraih tangannya dan berjalan ke tepi. “Disini pertama kalinya kita bertemu.”

Ciara mengikutinya, masih memandang ngeri ke bawah. Tempat itu memang menyeramkan tapi sekaligus juga indah. Deru ombak di bawah tebing seakan menyuruhmu untuk melompat, meninggalkan segala kepalsuan dunia jauh dibelakang.

“Yeah.. tapi aku tidak mengerti kenapa kau membawaku kesini..”

James menoleh kearahnya, tersenyum “Karena kau harus mengakhiri segalanya.”

“Apa yang harus diakhiri?” tiba-tiba jantung Ciara berdegup kencang.

“Ciara..” James mengeratkan genggamannya, menarik tubuh Ciara mendekat. “Kau tahu apa yang seharusnya kau akhiri. Kau harus berhenti membayangkan seolah-olah aku disini.”

“Tapi kau memang disini James.. apa yang kau bicarakan? Kau memang disini, saat ini, mengenggam tanganku.” Air mata membasahi wajahnya.

James masih tersenyum, hanya saja itu bukan senyum tulus kebahagiaan. Itu senyum pilu penuh keprihatinan.

“James.. kita harus pulang. Kau mulai ngelantur, kau harus minum obat. Ayo pulang.” Ciara menarik tangan James ke mobil. Tetapi James bergeming.

“Aku sedih melihatmu seperti ini. Kau harus merelakanku Ciara, aku sudah tidak ada.. aku yang sekarang hanya ada di imajinasimu..”

“Hentikan…” Ciara membentak.. “Kau nyata bodoh. Lihat.. kau mengenggam tanganku. Kau nyata!! Kau nyata!!” dia berteriak histeris, menunjuk tangan mereka yang masih bertaut. Berusaha menyadarkan dan meyakinkan James. Atau saat itu dialah yang harus diyakinkan.

James menariknya lebih dekat ke ujung tebing.

“Kau ingat hari itu ketika dokter memintamu merelakanku. Saat mereka mencabut alat-alat itu dari tubuhku. Aku tidak menyesal, selama aku masih bisa melihatmu bernafas. Aku bahagia. Tapi kau tidak bahagia, kau menangis sepanjang hari, dan itu membuatku sedih.”

“Bagaimana kau bisa tahu tentang mimpi-mimpiku? Aku memimpikannya, itu semua tidak nyata.” Ciara sulit bernafas paru-parunya sesak karena menangis.

“Itu nyata Ciara, semua itu nyata. Akulah yang tidak nyata. Kau terlalu terhanyut dalam fantasimu sendiri. Sekarang aku disini untuk menjemputmu. Kau mau hidup selamanya denganku kan?”

“Bagaimana???”

James menoleh kearah batu-batu di bawah, dimana gelombang ombak menghantam ganas.

Mata Ciara membulat ngeri, dia tahu apa yang harus dilakukannya. Mampukah dia? Beranikah dia?

“Kita akan hidup abadi selamnya, berdua tanpa ada yang menganggu.” Kata James seakan bisa membaca pikiran Ciara. “Kau mau melakukannya untukku kan?”

Ciara terdiam, teringat olehnya ketika dokter-dokter itu melepas peralatan medis dari tubuh James. Suara nyaring dan panjang dari heart monitor yang mendakan berhenti berfungsinya jantung James. Bagaimana dia meronta, berteriak, mencakar perawat yang memeganginya karena tidak memperbolehkannya melihat James, perasaan menyesal yang menyergapnya detik itu juga karena mengambil keputusan yang bodoh. Dia sudah membunuh James. Suaminya sudah lama meninggal.

“Ciara..”

Ciara menengadah, menatap James lekat-lekat “Kalau ini yang harus aku lakukan untuk bisa bersamamu lagi. Akan aku lakukan.”

James tersenyum lega, dibimbingnya Ciara ke tepi tebing, mengenggam tangannya erat. “Lakukan, aku menunggumu.”

Ciara menoleh tetapi tidak ada siapa-siapa disana. Dia sendirian James sudah pergi meninggalkannya.

“Tunggu aku James. Kita akan segera bertemu.”

Dan dengan begitu, dia melempar tubuhnya kebawah, merasakan angin maut membelai wajahnya, langsung menuju dasar tebing yang curam.

*************

can you get it?? :P

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New VIDEO! Music Sounds Better With U